“Alhamdulillah”… Cuma 2-0…..
Sudah ke sekian kalinya negara Republik Indonesia
masuk ke putaran Final dalam berbagai ajang bergengsi di Asia
Tenggara.Memang negara kita sudah selayaknya selalu masuk final karena
memiliki penduduk terbanyak di Asia Tenggara dan memang mempunyai
pemain-pemain berskill dunia.
Sudah sering saya perhatikan bahwa bangsa kita memang terlalu mudah untuk berpuas diri menjelang pertandingan final di berbagai ajang.Saya masih ingat ketika menjelang final piala AFF tahun lalu, semua pemain diboyong ke sebuah pesantren untuk melakukan do’a bersama para kyai dan santri-santri.
Padahal dari raut wajah mereka terlihat sekali keletihan dan ketidaknyamanan.Para pemain dielu-elukan sepertinya para santri dan kyai sudah yakin do’a mereka akan dikabulkan dan pasti menjadi juara menjelang keberangkatan mereka ke Malaysia.
Tetapi apa yang terjadi kemudian, kita semua tahu timnas kita kalah 3 - 0 dan sebagian pemain menyalahkan sinar laser yang mengganggu penglihatan mereka.Kalau di Malaysia menyalahkan sinar laser seharusnya ketika bermain di GBK para pemain juga mampu mengalahkan Malaysia 3 - 0.
Dan situasi serupa pun terjadi pada Final SEA Games ketika timnas kita kembali menghadapi Malaysia, masyarakat Indonesia kembali larut dalam keyakinan dapat mengalahkan Malaysia dan dapat membalaskan dendam piala AFF di Jakarta.
Akhirnya timnas kita “menunjukkan keistiqomahannya” sebagai Tim spesialis Runner Up.Hendaknya kita malu dan mau belajar dari Brunei yang meskipun memiliki peringkat FIFA jauh di bawah kita tapi memiliki kedisiplinan dan mental juara.
Sudah saatnya kita menghindari cara-cara instant dalam menggapai juara, haruskah kita mendapat sanksi FIFA dulu baru menjadi juara atau terus menerus memelihara konflik antar pengurus kemudian “konsisten” untuk selalu menjadi Runner Up.WallahuA’lam bi showab….
Sudah sering saya perhatikan bahwa bangsa kita memang terlalu mudah untuk berpuas diri menjelang pertandingan final di berbagai ajang.Saya masih ingat ketika menjelang final piala AFF tahun lalu, semua pemain diboyong ke sebuah pesantren untuk melakukan do’a bersama para kyai dan santri-santri.
Padahal dari raut wajah mereka terlihat sekali keletihan dan ketidaknyamanan.Para pemain dielu-elukan sepertinya para santri dan kyai sudah yakin do’a mereka akan dikabulkan dan pasti menjadi juara menjelang keberangkatan mereka ke Malaysia.
Tetapi apa yang terjadi kemudian, kita semua tahu timnas kita kalah 3 - 0 dan sebagian pemain menyalahkan sinar laser yang mengganggu penglihatan mereka.Kalau di Malaysia menyalahkan sinar laser seharusnya ketika bermain di GBK para pemain juga mampu mengalahkan Malaysia 3 - 0.
Dan situasi serupa pun terjadi pada Final SEA Games ketika timnas kita kembali menghadapi Malaysia, masyarakat Indonesia kembali larut dalam keyakinan dapat mengalahkan Malaysia dan dapat membalaskan dendam piala AFF di Jakarta.
Akhirnya timnas kita “menunjukkan keistiqomahannya” sebagai Tim spesialis Runner Up.Hendaknya kita malu dan mau belajar dari Brunei yang meskipun memiliki peringkat FIFA jauh di bawah kita tapi memiliki kedisiplinan dan mental juara.
Sudah saatnya kita menghindari cara-cara instant dalam menggapai juara, haruskah kita mendapat sanksi FIFA dulu baru menjadi juara atau terus menerus memelihara konflik antar pengurus kemudian “konsisten” untuk selalu menjadi Runner Up.WallahuA’lam bi showab….
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda